Kita semua pasti masih ingat betul, bagaimana mayoritas rakyat Indonesia pada akhir Pilpres 2014 sangat bergembira bercampur bangga memiliki seorang presiden bernama Jokowi. Sekalipun untuk itu Indonesia harus mengorbankan rakyatnya terbelah menjadi dua. Di satu sisi dikelompokkan sebagai manusia dengan label Rakyat “Cebong”, dan di satu sisi lain rakyat dikemas dengan label “Kadal Gurun”. Suatu kondisi yang harus dibayar dengan harga sosial yang sangat mahal dan tak ternilai angkanya dalam hitungan rupiah maupun dolar.
Namun saat itu Indonesia dengan mayoritas rakyatnya, tengah euforia atas kemenangan Jokowi. Tak peduli bahaya substansial yang mengancam nilai bangunan Nasionalisme Indonesia telah dihadirkan sebagai hasil desain politik dengan tujuan tertentu. Sikap ignoran ini terjadi karena saat itu Jokowi muncul sangat fenomenal sebagai pembawa harapan yang sangat didambakan.
Rakyat yang sebelumnya selama 10 tahun hidup dalam budaya formalis-aristokratik para penghuni istana ala SBY, jadi begitu terobati oleh datangnya seorang presiden yang berasal dari rakyat biasa, bukan anak siapa-siapa dan bukan pula keturunan keluarga penguasa maupun raja. Berpenampilan sederhana, murah senyum, gemar blusukan ke gorong-gorong kumuh hanya untuk menyapa rakyatnya. Maka dalam waktu relatif singkat, terciptalah Jokowi sebagai sebuah citra sang pemimpin berjiwa kerakyatan. Apalagi ketika Jokowi menghadirkan menu politik Trisakti, Nawacita, dan Revolusi Mental yang begitu membuat hati rakyat meleleh. Kian meleleh oleh etos hidupnya sebagai pemimpin yang hanya fokus pada kerja… kerja…kerja, kerja keras membangun Indonesia yang jauh lebih baik.
Rakyat pun bertambah antusias ketika Pak Jokowi sebagai presiden baru mendeklarasikan garis politik keluarga Jokowi yang anak-anaknya tidak akan berkarir di wilayah politik. Beliau lebih bangga melihat anak-anaknya menjadi pengusaha. Apalagi diawali sebagai pengusaha penjual martabak dan pisang goreng. Dengan pernyataan Jokowi ini rakyat pun secara otomatis membandingkan sikap kenegarawanan seorang Jokowi dengan sosok SBY maupun Megawati. Rakyat menjadi tergiring menyoroti tajam bagaimana SBY dan Mega malah sangat mendorong anak-anaknya aktif bermain di wilayah politik kekuasaan.
Selanjutnya Jokowi melakukan pembangunan secara masif. Ia pun berhasil merebut gelar Bapak Pembangunan dari tangan mendiang Presiden Suharto. Rakyat pun berduyun-duyun menjadi pendukung hyperfanatik Jokowi. Sehingga akhirnya terbangun kepercayaan, Jokowi adalah lambang kesuksesan dan kebenaran. Kalau toh ada kesalahan dan kegagalan, itu pasti ulah dari para pembantunya atau orang-orang di sekelilingnya, bukan Jokowi!
Keberhasilan terbangunnya citra super positif tentang Jokowi sebagai pemimpin paling sukses sejak Indonesia merdeka ini, merupakan kerja keras dan luar biasa hebat dari pasukan buzzernya . Merekalah mesin cuci politik yang sangat efektif dan selalu berhasil menghapus bercak noda kotor sekecil apapun yang sempat menempel di pakaian seorang Joko Widodo. Sehingga Jokowi dan citra positif merupakan sejoli yang tak terpisahkan. Jokowi, can’t do NO wrong! Jargon ini melekat dalam benak masyarakat di lapisan menengah, bawah, dan sangat bawah.
Namun.., belakangan ini agaknya rakyat mulai didorong oleh keadaan yang membuat mereka mulai gamang. Secara perlahan dan gradual rakyat kembali merindukan kondisi dan suasana seperti pada era kepemimpinan Jokowi di awal periode pertama sebagai Presiden. Rakyat sudah mulai banyak yang bertanya-tanya, bahkan meningkat pada suasana menagih janji akan realisasi Trisakti, Nawacita dan Revolusi Mental dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara. Rakyat mulai dibenturkan pada dua ekstrim konstruksi sosial-politik-ekonomi di wilayah kenyataan hari ini (das sein) dan harapan berikut mimpi indah (das sollen) yang pernah dijanjikan di tahun 2014.
Munculnya kegamangan yang disusul dengan terbangunnya sikap kritis masyarakat belakangan ini, mungkin sekali dipicu oleh realita kualitas kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang dirasakan langsung oleh rakyat. Utamanya kenyataan semakin maraknya korupsi dan manipulasi di wilayah pengelolaan uang negara, kekayaan negara, dan penyelenggaraan negara secara menyeluruh. Diperkeruh dengan kualitas sosial-ekonomi yang mulai berdampak pada kian terbebaninya rakyat oleh biaya hidup yang kian berat. Sementara di sisi lain, para pemimpin partai dan politisi, hanya sibuk dan asyik ribet dan ribut sendiri dengan urusan perebutan posisi dan kekuasaan seputar Pemilu-Pilpres 2024. Seperti tak ambil pusing terhadap kualitas kehidupan rakyat yang tengah berjuang hidup sebagai survivor, sekadar hanya untuk dapat hidup layak, bahkan hidup pas-pasan.
Apalagi lagi ketika fenomena budaya politik kekuasaan yang dijejalkan ke mata dan pikiran rakyat adalah adegan seputar kesibukan para pemimpin memperkokoh bangunan politik dinasti di negeri ini. Fenomena paling nyata adalah peristiwa Kaesang yang secara super kilat, ekspres, sehari langsung Ketua Umum Partai PSI. Juga didorongnya mantu dan anak Presiden yang terang-terangan ditampilkan sebagai kepala daerah, Wali Kota Medan dan Wali Kota Solo. Ditambah lagi dengan manuver menjadikan Gibran sebagai Cawapres Prabowo. Kesemuaan ini menjadi bumbu tak sedap yang membuat perut rakyat mulai merasa mual menahan bau ramuan politik yang memusingkan kepala. .
Dihadapkan pada realita yang mengkhawatirkan ini, dengan berat hati saya harus sampaikan sejumlah kecemasan massal yang saya sempat tangkap di hampir setiap lorong kehidupan keluarga wong cilik. Mengingat belakangan ini, harga beras sebagai makanan pokok rakyat mulai merayap naik ke atas, secara perlahan tapi pasti. Suatu kondisi yang sangat potensial menghadirkan ‘sesuatu’ yang tidak kita harapkan bersama.
Catatan saya ini tentunya disertai harapan dan ajakan kepada para pemimpin di negeri ini untuk segera sadar dan kembali ke jalan yang benar. Benar-benar di jalannya Trisakti, Nawacita, dan Revolusi Mental yang pernah diikrarkan oleh Pak Jokowi semasa awal kepemimpinannya sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia. Sebuah janji yang rakyat yakini bisa mengantar Indonesia mewujudkan sebuah harapan besar: memiliki Clean Government and Good Governance. Bukan sebaliknya!
Agar memungkinkan saya bisa dengan lantang menepis suara-suara sinis yang melontarkan pertanyaan; Indonesia ini emangnya milik Jokowi, dan spesial hanya disiapkan untuk Kaesang & Gibran???
Saya terpaksa memberanikan diri menjawab...Ya jelas tidaklah!
Begitu jawaban saya walau dengan kondisi pikiran yang diliputi perasaan harap-harap cemas. Berusaha menenangkan masyarakat agar tidak terlalu emosi dan kemerungsung.
Jawaban dalem meniko leres to Pak Jokowi?!